Iklan

Jumat, 29 Juli 2011

Pengurangan Subsidi BBM – Bagai Buah Simalakama : Ironi Infrastruktur Energi di Indonesia

Indonesia pernah mengalami masa puncak produksi minyak bumi, ditandai dengan bergabungnya pemerintah saat itu ke dalam OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries). Pada masa itu, harus kita akui bahwa ekspor migas menjadi andalan dalam meningkatkan devisa bagi negara. Namun dengan mundurnya Indonesia dari OPEC beberapa waktu yang lalu memberikan arti bahwa saat ini kita bukan lagi sebagai negara pengekspor minyak bumi. Saat ini kita bahkan telah menjelma menjadi salah satu negara pengimpor minyak bumi dalam jumlah yang besar. Dengan demikian harus disadari bahwa setiap pertumbuhan konsumsi BBM di masyarakat akan berdampak pada besaran nilai impor BBM. Dengan harga minyak bumi yang melambung tinggi dan kondisi daya beli masyarakat yang masih rendah, mau tidak mau – suka atau tidak suka, pemerintah harus menggelontorkan dana subsidi BBM setiap tahunnya dalam jumlah yang sangat besar.



Pemberian subsidi BBM disadari sebagai sebuah keharusan untuk menjaga stabilitas kondisi ekonomi nasional baik secara mikro atau pun makro. Mengurangi subsidi akan berarti dua hal yakni terjadinya kenaikan harga BBM atau terbatasinya pasokan BBM. Menaikkan harga BBM berarti akan menyulut inflasi yang bisa saja menjadi berbahaya di tengah kondisi inflasi dunia saat ini yang tidak sehat. Sementara membatasi pasokan BBM berarti akan mengakibatkan kelangkaan pasokan. Bila ini yang terjadi, ada kemungkinan pada akhirnya timbul kekisruhan sosial dan politik yang memiliki ongkos lebih tinggi bagi kita semua. Sebaliknya, tetap mempertahankan pemberian subsidi BBM berarti akan memberikan beban anggaran yang sangat besar bagi negara. Apalagi, trend kebutuhan konsumsi BBM nasional, kebutuhan konsumsi BBM internasional dan situasi geo politik antar negara penghasil minyak serta kondisi lainnya berpotensi menyebabkan harga minyak dunia semakin meningkat.

Sebenarnya, pokok masalah yang sudah disadari oleh kita semua adalah bukan pada keputusan pemberian subsidinya namun efektivitasnya. Bantuan subsidi BBM yang saat ini diberikan, dirasakan tidak efektif karena dinilai tidak tepat sasaran. Kondisi ini bukannya tidak disadari oleh pemerintah, namun dari sekian banyak wacana yang digagas dan didiskusikan nampaknya belum ada satu pun pendekatan yang dianggap akan efektif. Apalagi pengalaman masa lalu tentang cara-cara pemberian subsidi BBM yang pernah ditempuh oleh pemerintah tidak ada yang dianggap berhasil.

Beberapa kajian yang pernah muncul adalah rencana memangkas subsidi BBM untuk kendaraan roda empat, terutama untuk kendaraan pribadi roda empat. Ini dididasari atas asumsi bahwa kendaraan pribadi roda empat dimiliki oleh orang yang cukup mampu, sehingga tidak layak mendapatkan subsidi BBM. salah satu point dari isu tersebut adalah membatasi pemberian subsidi BBM untuk mobil yang dibuat sebelum tahun tertentu. Namun hingga saat ini, wacana tersebut tidak diimplementasikan karena banyaknya kritik dan kekhawatiran dari masyarakat tentang efektivitasnya. Banyak kalangan yang pesimis terhadap kemungkinan keberhasilan pendekatan itu. Diperkirakan akan timbul banyak sekali masalah-masalah baru seperti: penyalahgunaan subsidi, SPBU tidak mampu atau tidak patuh menjalankan program tersebut, dan lainnya.

Dalam pandangan penulis, esensi dari kekhawatiran masyarakat bersumber pada ‘tidak siapnya infrastruktur distribusi energi’ di Indonesia dalam mendukung transparansi data distribusi energi yang komprehensif. Mungkin saja ada data yang dapat diperoleh dari Pertamina tentang penyebaran distribusi energi tersebut – namun saya meyakini bahwa data tersebut tidak mampu mendukung keputusan pemerintah dalam menetapkan suatu pendekatan untuk memangkas besaran subsidi secara komprehensif. Misalnya, apakah Pertamina mampu memberikan catatan lengkap tentang identitas pemilik mobil yang membeli BBM jenis premium di setiap SPBU? Berapa liter bensin yang dihabiskan oleh sebuah mobil berpelat nomor sekian? Berapa banyak jumlah liter yang tidak tepat sasaran di setiap SPBU? Dan sebagainya.

Pertanyaan-pertanyaan di atas bukanlah sebuah pertanyaan yang mustahil untuk dijawab oleh kita. Di tengah kemajuan teknologi informasi saat ini, sebaliknya pertanyaan tersebut sangat mungkin untuk dijawab oleh kita. Bahkan dengan beberapa pendekatan yang pas, saya meyakini bahwa biaya untuk membangun infrastruktur sehingga kita mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa dibuat murah.


Transparansi Distribusi Energi

Transparansi distribusi energi mutlak diperlukan bila kita ingin membangun infrastruktur yang efektif – dimana infrastruktur tersebut dapat digunakan untuk mengambil keputusan yang bersifat strategis untuk kepentingan negara dan masyarakat. Dalam pandangan saya, transparansi distribusi energi harus dimulai dari pengelolaan data yang efektif, diawali dengan pencatatan transaksi pengisian BBM ke dalam sistem. Bila dalam supermarket, data transaksi penjualan digarap begitu penting – bahkan beberapa di antara perusahaan di bidang itu mampu mengetahui pola pelanggan mereka dengan sangat cepat, mengapa sebagai negara kita tidak mampu melakukannya? Dapat dianalogikan bahwa dalam konteks transparansi distribusi energi, masyarakat penerima subsidi merupakan pelanggan yang tercatat (registered), sedangkan pelanggan yang tidak menerima subsidi adalah pelanggan yang tidak tercatat (unregistered). Dengan begitu, ketika setiap transaksi yang dilakukan oleh pelanggan tercatat terinput ke dalam sistem maka dapat kita bayangkan bahwa akan ada data yang sangat komprehensif yang dapat dimanfaatkan oleh pengambil keputusan baik dalam rangka untuk menentukan alokasi atau pengendalian bantuan subsidi secara tepat.

Kembali pada gagasan pemerintah tentang pembatasan subsidi BBM melalui pemberian subsidi BBM hanya kepada mobil pribadi dengan tahun kendaraan tertentu, mobil angkutan umum serta kendaraan roda dua saja, maka kita perlu mencari model pendekatan yang dapat mengendalikan secara efektif prosesnya.

Sebagai warga masyarakat yang peduli akan masalah ini, saya memiliki sebuah gagasan tentang desain implementasi pembatasan subsidi BBM terhadap kendaraan roda empat. Desain ini saya perkirakan mampu untuk mendapatkan informasi dasar yakni apakah subsidi BBM tepat sasaran atau tidak dan bila ada penyelewengan, siapakah yang bertanggung jawab serta bagaimana tindak lanjut yang segera atas masalah itu. Komponen inti dari rancangan ini adalah Registrasi Penerima Subsidi, Identifikasi Kendaraan, Otomasi Pencatatan Transaksi ke dalam sistem serta Olah Data dan Alert System. Saya meyakini pula, rancangan ini juga dapat diterapkan ke dalam model pembatasan subsidi BBM yang lebih luas lagi.


Model Pencatatan Transaksi Pengisian BBM


Tahap I : Registrasi Kendaraan




Tahap II : Transaksi BBM





Tahap III: Reporting




Skema di atas menjelaskan secara umum tentang tahapan implemantasi pencatatan transaksi pengisian BBM melalui SPBU. Ada tiga tahap proses utama yaitu tahap Registrasi Kendaraan, Tahap Transaksi BBM dan Tahap Laporan dan Tindak Lanjut.

Registrasi Kendaraan

Kendaraan harus diregistrasi untuk mendapatkan sebuah stiker yang dirancang khusus. Stiker tersebut ditempelkan pada body kendaraan. Usulan saya adalah registrasi sebaiknya dilakukan melalui SPBU dengan membawa sejumlah persyaratan administrasi yang ditentukan. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan data pengguna BBM secara detil.

Transaksi BBM

Otomasi pencatatan BBM ke dalam sistem adalah keharusan untuk menghindari terjadinya kesalahan input petugas. Data dari transaksi BBM akan menunjukkan pola pemakaian BBM bersubsidi oleh penggunanya. Dari sini kita dapat menilai bentuk-bentuk pola yang dianggap wajar dan tidak serta penyimpangan antara jumlah BBM bersubsidi yang diterima oleh SPBU dari pertamina dibandingkan dengan data yang tercatat dalam database.

Reporting dan Tindak Lanjut

Reporting merupakan kegiatan otomasi yang dilakukan oleh sistem untuk kepentingan pengambilan keputusan dan tindak lanjut untuk berbagai pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar